Kamis, 28 April 2011

FORM CV STOPHIVA

SALAM STOPPER!!

Teman" STOPHIVA link FORM CV bisa didownload di sini

Setelah diisi kirIm ke nurmandhani@gmail.com

Maksimal hari SABTU, 30 APRIL 2011
TERIMA KASIH :D

Rabu, 20 April 2011

RESUME GIZI



 (GIZI DAN PRODUKTIVITAS KERJA)

Masalah KVA, GAKY, Anemia dan Obesitas di Perusahaan
DAMPAK DAN PENANGANAN KVA, GAKY, KEP, ANEMIA DAN OBESITAS PADA PEKERJA DI PERUSAHAAN


RESUME JURNAL
Pekerja adalah aset utama perusahaan tinggi rendahnya output yang dihasilkan oleh perusahaa sehingga untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dan produk yang berkualitas maka kesehatan pekerja sangat penting untuk diperhatikan. Kesehatan pekerja berdampak pada produktivitas kerja maka dari itu perusahaan harus memelihara kesehatan pekerja dari beberapa kasus kesehatan seperti berikut :
1.      Kekurangan Energi Protein (KEP) pada Pekerja
2.      Kekurangan Vitamin A (KVA) pada pekerja
3.      Obesitas pada pekerja
4.      Kekurangan Yodium (GAKY) pada pekerja
5.      Anemia pada pekerja
Setiap perusahaan menginginkan pekerjanya selalu dalam keadaan sehat dan hal-hal diatas perlu dicegah sehingga nantinya tidak mengganggu stabilitas perusahaan dikarenakan produktivitas pekerja yang menurun. Masalah kesehatan pekerja adalah tanggung jawab dari perusahaan yang telah diatur dalam undang-undang Departemen Tenaga Kerja No.01/MEN/1970 tentang upaya pemeliharaan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja. Sedangkan modal utama pelaksanaan pemeliharaan kesehatan pekerja diperusahaan adalah komitmen dari pengusaha untuk melaksanakan peraturan ditetapkan.
Upaya-upaya pemeliharaan kesehatan pekerja terus dilaksanakan oleh perusahaan guna menjaga pekerja agar selalu dalam kondisi yang sehat dan maksimal sehingga tidak akan mengganggu produktivitas kerja yang akhirnya berdampak pada perkembangan perusahaan.
I.             Kekurangan Energi Protein (KEP) pada pekerja
Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi terutama pada daerah dengan tingkat ekonomi rendah. Penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Beberapa faktor penting yang diduga menjadi penyebab timbulnya KEP pada pekerja disuatu perusahaan yaitu tingkat upah kerja, penyediaan makanan oleh perusahaan, pelayanan dari pemerintah, dan harga pangan. Dampak KEP antara lain : Menurunkan mutu fisik dan intelektual, menurunkan daya tahan tubuh, dan meningkatnya resiko kesakitan dan kematian. Beberapa program yang mungkin dilaksanakan untuk menanggulangi KEP pada pekerja di perusahaan antara lain : Peningkatan tunjangan oleh perusahaan, Penyediaan Makanan sehat oleh perusahaan, menyediakan sarana dan prasarana Kesehatan di perusahaan, dan Monitoring pada pekerja
II.          Kekurangan Vitamin A (KVA) pada pekerja
Pada pekerja, penyebab primer dari KVA adalah penyediaan makanan oleh perusahaan kurang nilai gizi dan pendapatan yang rendah. Sedangkan penyebab sekunder adalah adanya kegagalan penyerapan lemak di usus. Akibat dari kekurangan vitamin A :
a.       Terhambatnya pertumbuhan tulang yang terhambat dan dapat menyebabkan perubahan bentuk tulang. Pada pekerja yang masih muda tentunya akan sangat mengganggu pertumbuhannya.
b.      Dapat mengakibatkan kerusakan pada gigi dan terhentinya pertumbuhan sel-sel pembentuk gigi.
c.       Mempengaruhi sistem tulang dan syaraf sehingga dapat mengakibatkan kelumpuhan.
d.      Anemia adalah salah satu akibat dari kekurangan vitamin A. Tentunya akan sangat merugikan bagi perusahaan jika pekerjanya tidak dalam keadaan maksimal dalam melakukan pekerjaannya.
Program yang perlu dilaksanakan untuk mencegah KVA adalah penyelenggaraan makanan sehat oleh perusahaan, penyediaan Suplemen vitamin A, penyediaan layanan kesehatan, serta upaya rehabilitatif
III.       Obesitas pada pekerja
Faktor yang mempengaruhi kejadian obesiatas pada pekerja : Stress akibat pekerjaan, Aktivitas yang sedikit, Pola makan abnormal, dan Jenis makanan yang di konsumsi
Obesitas pada pekerja juga berdampak buruk bagi perusahaan sehingga perlu adanya beberapa program pengendalian yang bisa dilakukan, yaitu : Penyediaan fasilitas olah raga di perusahaan,peningkatan kualitas pangan oleh perusahaan, Program traveling, dan Pelayanan Kesehatan.
IV.       Kekurangan Yodium (GAKY) pada Pekerja
Penyakit ini bisa disebut defisiensi yodium atau kekurangan yodium. Penyebab seorang pekerja terkena GAKY yaitu : Jenis makanan yang dikonsumsi, Kondisi Fisik, dan Kondisi lingkungan
Pemecahannya sangat sederhana, yaitu dengan :
1.      Berikan satu sendok yodium pada setiap orang yang membutuhkan, dan terus menerus. Karena yodium tidak dapat disimpan oleh tubuh dalam waktu lama, dan hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit sehingga harus berlangsung terus menerus.
2.      Pada daerah kekurangan yodium endemik akibat tanah dan hasil panen serta rumput untuk makanan ternak tidak cukup kandungan yodiumnya untuk dikonsumsi oleh pekerja setempat, maka suplementasi dan fortifikasi yodium yang diberikan terus menerus sangat tinggi angka keberhasilannya.
3.      Penyuluhan kesehatan secara berkala pada pekerja perlu dilakukan, demikian juga perlu diberikan penjelasan pada pembuat keputusan, dan tentunya juga diberikan tambahan pengetahuan dari tenaga kesehatan dari perusahaan setempat.
4.      Pelayanan kesehatan juga diperlukan sebagai upaya rehabilitatif pada pekerja yang terkena GAKY sehingga pekerja mendapat perlindungan kesehatan.
V.          Anemia pada pekerja
Anemia Karena Kekurangan Zat Besi adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin (protein pengangkut oksigen) dalam sel darah berada dibawah normal, yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Penyebab pekerja menderita anemia yaitu : Jenis Makanan yang disediakan perusahaan kurang zat besi, Pendarahan pada pekerja, Pasca menopause pada pria dan wanita, serta Wanita pre-menopause.
Beberapa pengendalian yang harus diterapkan diperusahaan untuk mengurangi kejadian anemia diperusahaan antara lain : Peningkatan mutu pangan yang disediakan perusahaan, Mengendalikan perdarahan menstruasi yang sangat banyak pada pekerja yang mengalami menstruasi, Menyediakan suplemen zat besi, Pelayanan kesehatan, dan Monitoring pekerja rentan terhadap Anemia.
















(GIZI DAN KETAHANAN FISIK)

MASALAH GIZI DALAM KAITANNYA DENGAN KETAHANAN FISIK DAN PRODUKTIFITAS KERJA

Dr. LINDA T. MAAS, MPH
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Sumber : Usu digital library

RESUME JURNAL

Peningkatan gizi pekerja diharapkan daya tahan tubuh mereka akan meningkat dan sebagai konsekuensinya akan meningkat pulalah produktifitas kerjanya. Makanan yang bergizi adalah makanan yang mengandung zat-zat nutrien yang dibutuhkan oleh tubuh agar tubuh dapat melakukan fungsi-fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Kebutuhan akan zat-zat ini berbeda-beda dan perbedaan ini tergantung dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan ataupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Pada wanita dewasa, kalori yang dibutuhkan berkisar antara 1.600 -2000 kilokalori, sedangkan pria dewasa membutuhkan sekitar 2.500 -3.000 kilokalori setiap harinya. Secara umum pengaruh gizi pada manusia sangatlah kompleks, antara lain dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental, perkembangan fisik, produktivitas dan kesanggupan kerja yang mana kesemua ini sangatlah erat hubungannya dengan perbaikan atau peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan demikian agar dapat melakukan kerja seoptimal mungkin sangatlah perlu diperhatikan kualitas makanan yang dimakan, hendaknyalah memakan makanan yang cukup mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh atau makanan yang berimbang (balanced diet).
Selain itu, ada dugaan bahwa gizi salah yang diderita pada masa janin dapat menimbulkan kelainan kromosoma yang bisa berakibatkan pada perilaku abnormal ataupun kelainan-kelainan yang akan bertahan selama hidup. Masalah lain yang dapat diakibatkan oleh gizi salah ini adalah gangguan perkembangan Fisik. Perawatan yang tentunya termasuk gizi dalam hal ini cukup menentukan kondisi seseorang selanjutnya dan ini tentunya sedikit banyaknya akan berkaitan dengan produktifitas kerja dan kualitas hidupnya di kemudian hari. Sebenarnya, dalam pembahasan gizi salah yang dapat menimbulkan masalah kesehatan tidaklah semata-mata hanya keadaan kurang gizi, namun kelebihan gizipun dapat menimbulkan gangguan pada manusia. Jadi kalau kita tilik lebih dalam yang tergolong dalam gizi salah (malnutrisi) ini ada dua golongan, yaitu kurang gizi (under nutrition) dan kelebihan gizi (over nutrition).
Pada negara-negara berkembang pada umumnya banyak dijumpai keadaan kurang gizi yang sering disebut dengan Kurang Energi Protein (KEP), Defisiensi vitamin A, Gangguan Akibat Kekurangan lodium (GAKI) dan lain-lain yang nantinya dapat berakibat pada turunnya daya tubuh dan memudahkan untuk mendapat penyakit-penyakit infeksi ataupun gangguan lain. Dengan melihat kondisi ini, maka saat ini Indonesia sedang menghadapi dua masalah atau problema ganda gizi dimana diperlukan pemecahan masalah yang tepat sehingga diharapkan kualitas sumber daya akan meningkat yang pada akhirnya juga berhubungan dengan tingkat produktifitasnya.
Produktifitas kerja pada hakekatnya ditentukan oleh banyak faktor, faktor manusia dan faktor di luar diri manusia. Faktor manusia dapat dibagi dalam faktor fisik dan faktor non fisik, sedangkan faktor di luar diri manusia dapat berupa tekno-struktur yang dipakai dalam bekerja, sistem manajemen perusahaan, dan lain-lain. Upaya perbaikan kesejahteraan tenaga kerja secara menyeluruh secara jelas dicakup dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988 pada Kebijaksanaan di bidang perlindungan tenaga kerja yang ditujukan pada perbaikan upah, syarat kerja, kondisi kerja, hubungan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam kesehatan kerja tercakup tiga aspek penting yaitu mengenai kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja dimana tujuannya adalah agar masyarakat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya. Gizi dalam hati ini merupakan salah satu faktor penentu kapasitas kerja. Masukan gizi yang cukup kualitas dan kuantitasnya sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan pembangunan fisik maupun mental. Dari berbagai penelitian yang dilakukan ternyata bahwa gizi mempunyai kaitan dengan produktifitas kerja; hal ini terbukti dari hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa secara umum kurang gizi akan menurunkan daya kerja serta produktifitas kerja.
Dalam melakukan pekerjaannya, perlu disadari bahwa masyarakat pekerja yang sehat akan bekerja dengan giat, tekun, produktif dan teliti sehingga dapat mencegah kecelakaan yang mungkin terjadi selama bekerja. Dapat dibayangkan apabila pekerja mengalami kurang gizi, hal ini paling tidak akan mengurangi konsentrasi bekerja ataupun ketelitiannya dalam melakukan kerja; kondisi ini tentunya sangat membahayakan keselamatannya apalagi kalau pekerja tersebut bekerja dengan menggunakan alat-alat yang dalam penggunaannya sangat membutuhkan konsentrasi dan perhatian yang tinggi karena kalau tidak berhati-hati dapat menimbulkan kecelakaan.
Di dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap II, kreatifitas dan peningkatan produktifitas kerja sangat diharapkan. Untuk dapat memenuhi tuntutan ini, mutu ataupun kualitas sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang cukup besar. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia. Pertama, Indeks Mutu Hidup atau Physical Quality of Life Index (PQLI). Kedua, Human Development Index (HDI) yang dikembangkan oleh UNDP. Ketiga, yang sekarang dalam taraf pengembangan oleh BAPPENAS, yakni Social Development Index (SDl). Dalam ketiga indikator yang disebut diatas, unsur yang menyangkut derajat kesehatan selalu merupakan salah satu unsurnya. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kesehatan merupakan kontributor penting bagi kualitas sumber daya manusia yang mana erat kaitannya dengan kreativitas dan peningkatan produktiftas kerja yang selanjutnya akan dapat meningkatkan perekonomian clan pendapatan masyarakat.
Kebijaksanaan penyesuaian pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga untuk membangun manusia. Untuk itu kegiatan pembangunan agar memberikan perhatian yang lebih besar terhadap program-program pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar, perbaikan gizi. Derajat kesehatan yang baik mempunyai dampak positif yang langsung terhadap laju pembangunan. Rakyat yang semakin sehat, bukan hanya merupakan tujuan tetapi juga sarana agar laju pembangunan dapat dipercepat. Derajat kesehatan yang makin baik akan meningkat produktifitas tenaga kerja, mengurangi jumlah hari-hari ia tidak masuk kerja karena sakit serta memperpanjang umur produktifnya.
Tonny Sajimin dari Jurusan Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa status gizi mempunyai korelasi positif dengan kualitas fisik manusia. Makin baik status gizi seseorang semakin baik kualitas fisiknya. Ketahanan dan kemampuan tubuh untuk melakukan pekerjaan dengan produktifitas yang memadai akan lebih dipunyai oleh individu dengan status gizi baik. Selain itu, peranan gizi dengan produktifitas juga ditunjukkan oleh Darwin Karyadi (1984) dalam penelitiannya dimana dengan penambahan gizi terjadi kenaikan produktifitas kerja. Pada dasarnya zat gizi yang dibutuhkan oleh seseorang sangat ditentukan oleh aktifitas yang dilakukannya sehari-hari. Makin berat aktifitas yang dilakukan maka kebutuhan zat gizi akan meningkat pula terutama energi. Upaya perbaikan gizi pekerja berarti meningkatkan kualitas fisik dalam artian peningkatan daya tahan tubuh, peningkatan kesanggupan kerjajuga peningkatan kualitas non fisik seperti kecerdasan, aspirasi yang tinggi dan peningkatan ketrampilan yang selanjutnya dapat meningkatkan tingkat pendapatan pekerja.
















(KERACUNAN MAKANAN)

Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap

Ratih Dewanti-Hariyadi

Ratih Dewanti-Hariyadi, PhD adalah staf pengajar dan kepala laboratorium Mikrobiologi Pangan, Jurusan Teknologi pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor


RESUME ARTIKEL

Peristiwa keracunan makanan sering terjadi beberapa minggu terakhir ini. Kasus ini banyak terjadi di perusahaan yang kemungkinan disebabkan oleh makanan katering yang disajikan. Peristiwa keracunan makanan siap santap memang sering terjadi ketika makanan tersebut dimasak dalam skala besar. Di Indonesia, data yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan bahwa 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering. Kasus keracunan makanan diduga sisebabkan mikroba patogen asal pangan (foodborne pathogen). Di Amerika Serikat, sekitar 70% wabah keracunan makanan disebabkan makanan siap santap olahan industri jasa boga. 
Alasan Makanan Siap Santap Menyebabkan Keracunan
Sebagian besar makanan siap santap di Indonesia diproses dengan panas yang tinggi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini cukup untuk membunuh bakteri patogen, tetapi tidak untuk pembentuk spora. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar keracunan disebabkan oleh bakteri – bakteri tahan panas yang membentuk spora selama pemasakan. Spora ini dapat bergerminasi ketika makanan mengalami pendinginan dan peritiwa ini didukung oleh pendinginan yang lambat sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai suhu yang aman (40C atau lebih rendah). Hal ini menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan keracunan makanan siap santap tidak terjadi di rumah – rumah tangga dengan jumlah masakan kecil. Jumlah makanan dengan skala kecil lebih memungkinkan penurunan suhu lebih cepat. Kebiasaan masyarakat Indonesia menyimpan makanan di suhu ruang dan tidak tersedianya sarana pendinginan cepat menyebabkan tumbuh kembalinya bakteri pembentuk spora tersebut.
Keracunan oleh Bakteri Pembentuk Spora
Di Amerika Serikat, kasus keracunan makanan seringkali disebabkan oleh tidak tepatnya proses pendinginan setelah pemasakan. Bakteri – bakteri yang bertahan pada kondisi tersebut misalnya Clostridium perfringens dan Bacillus cereus. Clostridium perfringens yang bergerminasi pada saat pendinginan lambat dan tertelan bersama – sama makanan dapat menginfeksi usus dan menimbulkan gejala khas keracunan seperti diare, mual dan muntah 16 – 24 jam setelah konsumsi. Sedangkan pada Bacillus cereus setelah bergerminasi pada makanan siap santap kemudian tumbuh dan membentuk toksin dalam makanan tersebut. Terdapat 2 macam toksin B. cereus yang telah diketahui dapat menyebabkan keracunan yaitu toksin emetik yang menyebabkan muntah 2-6 jam setelah konsumsi dan toksin diare yang menyebabkan diare 12-24 jam setelah konsumsi.
Keracunan Makanan oleh Bakteri Patogen Bukan Pembentuk Spora
Mengonsumsi makanan yang benar – benar matang dapat menghindarkan kita dari keracunan makanan yang disebabkan patogen yang tidak membentuk spora. Hal ini disebabkan patogen – patogen jenis ini relatif tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses pemasakan. Terkadang, keracunan terjadi karena bakteri patogen bukan pembentuk spora ini. Hal ini terjadi karena kontaminasi silang (cross contamination) maupun kontaminasi ulang (recontamination) yang terjadi setelah pemasakan pemasakan. Kontaminasi silang dapat terjadi jika wadah atau alat pengolahan digunakan bersama – sama baik untuk bahan mentah maupun bahan yang telah matang. Sedangkan kontaminasi ulang terjadi karena wadah tersebut tercemar oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan diri. Dengan kata lain kurangnya sanitasi dan higiene pada proses pemasakan.
Patogen asal pekerja dapat berupa Staphylococcus aureus yang berasal dari rongga mulut, hidung atau tangan pekerja. Jika ada jeda waktu yang cukup antara pemasakan dan konsumsi, S. aureus yang mencemari makanan matang akan tumbuh dan membentuk berbagai enterotoksin. Enterotoksin S. aureus bersifat tahan panas sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pemanasan kembali yang benar sekalipun. Keracunan enterotoksin S. aureus dapat dikenali dengan tanda utama muntah 1-6 jam setelah konsumsi makanan tersebut. Bakteri asal pekerja pun dapat mencemari secara tidak langsung melaui air. Yang termasuk dalam patogen enterik ini antara lain Salmonella, Escherichia.coli, Vibrio parahaemolyticus, Campylobacter jejuni dan Listeria monocytogenes. Apabila kandungan air, pH, dan suhu makanan memungkinkan, bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang biak yang kemudian menyebabkan infeksi usus. Gejala keracunan yang muncul biasanya lebih lama, yaitu 12-48 jam setelah mengonsumsi dengan gejala penyakit yang umumnya terdiri dari diare, mual, muntah dan demam.
Investigasi Keracunan Makanan
Keracunan yang dilaporkan di Indonesia pada umumnya adalah jenis keracunan makanan dengan skenario konvensional. Ciri - cirinya adalah terjadi pada acara sosial yang dihadiri banyak orang, banyak korban, keracunan bersifat akut namun meliputi daerah yang terbatas, jumlah patogen tinggi, dan seringkali disebabkan oleh kesalahan dalam penangan makanan. Investigasi keracunan jenis ini relatif lebih mudah dilakukan jika sisa makanan masih tersedia. Studi epidemiologi secara case-control maupun secara cohort juga dapat dilakukan karena identitas korban mudah diketahui. Sumberdaya manusia yang cukup dan laboratorium uji yang baik akan sangat menentukan keberhasilan investigasi.
Investigasi akan lebih sulit dilakukan jika ditandai : tersebar luas, disebabkan oleh kontaminasi dalam jumlah rendah, disebabkan oleh makanan yang dijual dalam jangkauan yang lebih luas, dan peningkatan jumlah kasus tidak nyata. Investigasi keracunan ini umumnya hanya dapat disimpulkan dari suatu data surveilan penyakit atau laboratorium.
Pencegahan
Investigasi yang baik dapat mengidentifikasi patogen dan makanan penyebab keracunan serta tahap pengolahan yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penyimpangan pada produk makanan. Keracunan oleh bakteri pembentuk spora terutama dapat diatasi dengan pendinginan cepat, dimana makanan yang usai dimasak sesegera mungkin dibawa ke suhu di bawah 4o C jika tidak langsung dikonsumsi. Untuk jumlah makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat mencapai suhu 31,5o C dalam waktu 2 jam dan mencapai 4o C dalam 4 jam berikutnya.
Keracunan oleh bakteri pembentuk spora dapat juga diatasi dengan memasak dalam waktu yang dekat dengan waktu penyajian. Pendeknya rentang waktu akan membatasi terjadinya germinasi spora. Disamping itu sel yang bergerminasi dapat dikurangi dengan cara memanaskan kembali makanan sebelum dikonsumsi. Untuk itu maka pemanasan kembali harus dilakukan sehingga suhu makanan siap santap mencapai 60o C atau lebih, karena suhu pemanasan kembali yang tidak cukup dapat merangsang germinasi spora.
Pencegahan keracunan oleh bakteri bukan pembentuk spora dilakukan dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi silang maupun kontaminasi ulang, yaitu dengan pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang. Pemanasan kembali dengan suhu yang cukup hanya dapat menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat menginaktifkan enterotoksin yang telah terlanjur terbentuk oleh S. aureus . Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasan – kebiasaan pekerja.